11.12.2008

Dilarang Merokok

Dilarang merokok! itulah gambar larangan yang sering kita lihat. tetapi apakah larangan ini membuat orang sadar untuk tidak merokok!

belum tentu, tingkat kesadaran itulah penyebabnya. ada pendapat sebahagian di masyarakat bahwa tingkat kesadaran sosial itu tergantung tingkat pendidikan. ada benar dan ada juga tidak. lihatlah di perkantoran jelas-jelas sudah ada tanda dilarang merokok, namun mereka yang sudah tidak tahan dengan asamnya mulut membuat mereka dengan santainya melepaskan hajat ditempat yang jelas-jelas dilarang untuk merokok. yang lebih mengenaskan adalah kejadian yang pernah kualami sewaktu mengisi bahan bakar di salah satu pom bensin beberapa waktu lalu.

Saat itu hari gelap menyelimuti pom bensin di salah satu kawasan jalan SM Raja Medan, lampu-lampu jalan sudah mulai menyala walapun sinarnya belum begitu berarti. setelah masuk ke kawasan pom bensin yang berada pas di pinggir jalan tersebut, lalu premium yang masih seharga Rp. 6000/ liter tersebut kupesan sesuai dengan kapasitas tangki yang masih kosong. setelah mesin kumatikan dan petugas mengisi bahan bakar, kulihat tepat didepan sebelah kiri seorang lelaki jongkok di pinggir batas areal pom bensin yang berjarak hanya sekitar 5 meter dengan santainya merokok tanpa ada yang melarang (anda bisa bayangkan, di areal pom bensin) padahal disamping pom bensin tersebut sangat ramai orang lalu lalang karena bersebelahan dengan shopping centre. aku tidak begitu mengetahui orang itu, yang pasti melihat dari pakaian dan penampilan bukanlah orang yang mempunyai gangguan jiwa (gila). aku tidak sanggup membayangkan seandainya orang tersebut membuang puntung rokoknya di 'asbak' yang begitu besar disitu, booom! kebakaran sudah pasti terjadi.
akhirnya karena rasa takut dan geram melihat tingkat orang tersebut (karena petugas saat itu sedang mengisi bahan bakar di mobilku) kupanggil petugas tersebut untuk menegur dan melarang orang tersebut untuk meninggalkan areal pom bensin tersebut. setelah orang tersebut pergi akupun lega.

inilah adalah salah satu potret masyarakat kita yang mungkin tanpa kita sadari ada disekitar kita yang luput dari perhatian atau bahkan tidak peduli dengan prilaku tersebut dan bahkan parahnya kita terkadang ikut melanggar kedisiplinan tersebut.
sepertinya untuk mewujudkan kesadaran sosial masyarakat kita perlu dengan PAKSAAN atau HUKUMAN!tapi ya sudahlah kadang yang menghukum juga melanggar, yang pasti kesadaran dari diri sendiri, itu yang utama!

11.05.2008

GUNUNG SAYANG

Membaca judul tulisan ini ada banyak persepsi yang dapat dibangun oleh pikiran kita, namun tidak halnya dengan masyarakat melayu. ‘Gunung sayang’ merupakan sebagian dari beberapa syair lagu melayu yang kini kian jarang terdengar. Sekalipun kata ‘Gunung Sayang’ di mesin pencari seperti google jarang ada tulisan yang membahasnya.

Namun bagiku ‘Gunung Sayang’ adalah tentang kehidupan masa kecil dan tentang pasang surutnya kehidupan keluarga suku Banjar, ya keluargaku.


‘GUNUNG SAYANG’ Gilingan Padi Nasional-Pribumi, kampung Tanjung Pasir-Pangkalan Susu. Itulah yang tertulis didepan sebuah bangunan kokoh yang berdiri menyambut kedatangan setiap masyarakat sekitar yang akan mengiling gabah hasil bercocok tanam mereka.
Masyarakat Desa Tanjung Pasir adalah masyakat pendatang bersuku Banjar yang berasal dari Tembilahan-Riau, terbagi menjadi dua bagian wilayah antara Persawahan dan pesisir pantai. Sehingga profesi sebagain Petani dan ada juga nelayan, namun bagi masyarakat Tanjung Pasir menjadi petani adalah pilihan utama mereka.

Demikian pula keluarga orang tuaku dan mereka petani yang ulet kehidupan sehari-hari nya tidak terlepas dari kubangan lumpur sawah, mereka semua adalah petani tadah hujan yang dalam mengolah pertanian hanya dapat menanen 1 kali dalam setahun, mereka belum mengenal yang namanya bibit unggul seperti IR atau yang lainnya. Apalagi ‘Supertoy’ yang dapat dipanen dalam waktu singkat (instant) sehingga mampu 3 kali dalam setahun yang akhirnya hanya janji kosong belaka. Semua serba masih alami. Begitu juga dengan traktor tangan ‘Jetor’ mereka belum pernah menjamah.
Seiring perkembangan ekonomi yang kian membaik, Panen padi masyarakat desa yang melimpah, maka mereka mulai melirik untuk merambah usaha
baru yaitu penggilingan padi.
Usaha Penggilingan Padi (Kami lebih sering menyebut ‘Kilang Padi’) ini berdiri di tahun 70’an dan merupakan kilang padi yang pertama ada di Pangkalan susu sehingga semakin mendongkrak perekonomian keluarga juga turut semakin baik hingga tahun 1982.
Nama kilang padi ’Gunung Sayang’ diambil dari Judul lagu melayu ‘Gunung sayang’ kebetulan abah (ayah) ku yang masa mudanya adalah penggemar/pemain Orkes Melayu, beliau memainkan alat musik Biola sehingga pada saat mendirikan Kilang padi bersama saudara dan orang tuanya nama inilah yang menjadi pilihan.

Kilang padi ini mengalami relokasi sejak Pertamina di Wilayah ekplorasi Pangkalan Susu mulai menghasilkan minyak mentah yang disalurkan memalui Pipa baja besar berdiameter sekitar 45 cm melintas disepanjang jalan antara Pangkalan Susu hingga bermuara ke Ujung pantai (teluk Kerang) melalui desa tersebut.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan, akhirnya Pertamina merelokasi dan ganti rugi kepada semua masyarakat yang memiliki bangunan dan tanah yang dilalui aliran pipa minyak tersebut untuk menjauh 10 Meter dari jarak pipa minyak.

Tahun terus berganti, roda terus berputar kejayaan kilang padi ‘Gunung Sayang’ hanya berlangsung antara periode tahun 1970 -1982 saja. Sepeninggalnya Kakek berangsur giat kilang padi pun mulai kehilangan gairah, satu persatu kegiatan mulai berkurang. Pem
belian gabah yang biasanya dilakukan dengan membeli keluar kota guna memenuhi permintaan beras di pasar-pasar kec. Pangkalan susu, Medan dan kota lain, kini nyaris terhenti sehingga mengakibatkan pemasaran beras juga semakin berkurang. Masalah ini terus berlanjut hingga saat ini, kilang padi tidak ubahnya hanya gedung tua yang masih berdiri lesu. Deru mesin tidak segarang dulu lagi.

Demikian juga sawah-sawah yang luas yang dimiliki oleh keluarga ayahku yang selalu menghasilkan gabah yang berlimpah setiap tahun panen, kini hanya cerita saja. Sawah-sawah itu sekarang dikelola oleh orang yang tidak memiliki sawah (disewakan) dengan bayaran uang setiap panennya atau juga kadang dibayar dengan hasil gabah sesuai dengan kesepakatan bersama. Abah dan pakcik seperti kehilangan arah mengelola usaha mereka.
Banyak faktor penyebab. Salah satu yang sekarang bisa kuambil hikmah adalah tidak adanya majemen yang baik dalam pengelolaan keuangan, disamping itu generasi atau anak-anak dari ayahku tidak ada yang dibimbing untuk mengelola usaha tersebut. Kami (anak-anak ayahku) semua adalah orang-orang yang bekerja dengan orang lain bekerja pada perusahaan atau pegawai di Pemerintahan, demikian halnya dengan anak-anak Adik ayahku (pakcik) juga tak jauh berbeda.

Abahku kini sudah tiada (meninggal tahun 2003 dalam usia sekitar 66 Tahun), almarhum memiliki 4 (empat) orang saudara kandung, 2 orang meninggal dalam usia muda saat ini hanya tinggal adiknya saja (pakcik).

Aku hanya bisa merenung dan menjadi saksi akhir dari cerita ’Gunung Sayang’.