Membaca judul tulisan ini ada banyak persepsi yang dapat dibangun oleh pikiran kita, namun tidak halnya dengan masyarakat melayu. ‘Gunung sayang’ merupakan sebagian dari beberapa syair lagu melayu yang kini kian jarang terdengar. Sekalipun kata ‘Gunung Sayang’ di mesin pencari seperti google jarang ada tulisan yang membahasnya.
Namun bagiku ‘Gunung Sayang’ adalah tentang kehidupan masa kecil dan tentang pasang surutnya kehidupan keluarga suku Banjar, ya keluargaku.
‘GUNUNG SAYANG’ Gilingan Padi Nasional-Pribumi, kampung Tanjung Pasir-Pangkalan Susu. Itulah yang tertulis didepan sebuah bangunan kokoh yang berdiri menyambut kedatangan setiap masyarakat sekitar yang akan mengiling gabah hasil bercocok tanam mereka.
Masyarakat Desa Tanjung Pasir adalah masyakat pendatang bersuku Banjar yang berasal dari Tembilahan-Riau, terbagi menjadi dua bagian wilayah antara Persawahan dan pesisir pantai. Sehingga profesi sebagain Petani dan ada juga nelayan, namun bagi masyarakat Tanjung Pasir menjadi petani adalah pilihan utama mereka.
Demikian pula keluarga orang tuaku dan mereka petani yang ulet kehidupan sehari-hari nya tidak terlepas dari kubangan lumpur sawah, mereka semua adalah petani tadah hujan yang dalam mengolah pertanian hanya dapat menanen 1 kali dalam setahun, mereka belum mengenal yang namanya bibit unggul seperti IR atau yang lainnya. Apalagi ‘Supertoy’ yang dapat dipanen dalam waktu singkat (instant) sehingga mampu 3 kali dalam setahun yang akhirnya hanya janji kosong belaka. Semua serba masih alami. Begitu juga dengan traktor tangan ‘Jetor’ mereka belum pernah menjamah.
Seiring perkembangan ekonomi yang kian membaik, Panen padi masyarakat desa yang melimpah, maka mereka mulai melirik untuk merambah usaha baru yaitu penggilingan padi.
Usaha Penggilingan Padi (Kami lebih sering menyebut ‘Kilang Padi’) ini berdiri di tahun 70’an dan merupakan kilang padi yang pertama ada di Pangkalan susu sehingga semakin mendongkrak perekonomian keluarga juga turut semakin baik hingga tahun 1982.
Nama kilang padi ’Gunung Sayang’ diambil dari Judul lagu melayu ‘Gunung sayang’ kebetulan abah (ayah) ku yang masa mudanya adalah penggemar/pemain Orkes Melayu, beliau memainkan alat musik Biola sehingga pada saat mendirikan Kilang padi bersama saudara dan orang tuanya nama inilah yang menjadi pilihan.
Kilang padi ini mengalami relokasi sejak Pertamina di Wilayah ekplorasi Pangkalan Susu mulai menghasilkan minyak mentah yang disalurkan memalui Pipa baja besar berdiameter sekitar 45 cm melintas disepanjang jalan antara Pangkalan Susu hingga bermuara ke Ujung pantai (teluk Kerang) melalui desa tersebut.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan, akhirnya Pertamina merelokasi dan ganti rugi kepada semua masyarakat yang memiliki bangunan dan tanah yang dilalui aliran pipa minyak tersebut untuk menjauh 10 Meter dari jarak pipa minyak.
Tahun terus berganti, roda terus berputar kejayaan kilang padi ‘Gunung Sayang’ hanya berlangsung antara periode tahun 1970 -1982 saja. Sepeninggalnya Kakek berangsur giat kilang padi pun mulai kehilangan gairah, satu persatu kegiatan mulai berkurang. Pembelian gabah yang biasanya dilakukan dengan membeli keluar kota guna memenuhi permintaan beras di pasar-pasar kec. Pangkalan susu, Medan dan kota lain, kini nyaris terhenti sehingga mengakibatkan pemasaran beras juga semakin berkurang. Masalah ini terus berlanjut hingga saat ini, kilang padi tidak ubahnya hanya gedung tua yang masih berdiri lesu. Deru mesin tidak segarang dulu lagi.
Demikian juga sawah-sawah yang luas yang dimiliki oleh keluarga ayahku yang selalu menghasilkan gabah yang berlimpah setiap tahun panen, kini hanya cerita saja. Sawah-sawah itu sekarang dikelola oleh orang yang tidak memiliki sawah (disewakan) dengan bayaran uang setiap panennya atau juga kadang dibayar dengan hasil gabah sesuai dengan kesepakatan bersama. Abah dan pakcik seperti kehilangan arah mengelola usaha mereka.
Banyak faktor penyebab. Salah satu yang sekarang bisa kuambil hikmah adalah tidak adanya majemen yang baik dalam pengelolaan keuangan, disamping itu generasi atau anak-anak dari ayahku tidak ada yang dibimbing untuk mengelola usaha tersebut. Kami (anak-anak ayahku) semua adalah orang-orang yang bekerja dengan orang lain bekerja pada perusahaan atau pegawai di Pemerintahan, demikian halnya dengan anak-anak Adik ayahku (pakcik) juga tak jauh berbeda.
Abahku kini sudah tiada (meninggal tahun 2003 dalam usia sekitar 66 Tahun), almarhum memiliki 4 (empat) orang saudara kandung, 2 orang meninggal dalam usia muda saat ini hanya tinggal adiknya saja (pakcik).
Aku hanya bisa merenung dan menjadi saksi akhir dari cerita ’Gunung Sayang’.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Pewangi ruangan ataupun airfresh tidak selamanya ampuh untuk menghilangan bau yang menyengat dalam mobil (seperti bau durian, amis ikan dl...
-
Photo kenang-kenangan Musyarawah Besar Warga Kalimantan Se sumatera Utara, September 1956. gambar ini merupakan hasil scanner dari poster yg...
-
Jauh sebelum mengenal 'football table' sewaktu kanak-kanak sekitar akhir tahun 70 an, anak-anak di beberapa daerah pernah memiliki p...
Bang..di Tg Pasir dimana ya?
ReplyDeletesaya tinggal di lor. Kurnia nenek saya dulu tinggal di dekat sawah dekat rumah Pak Udin Marau. mungkin abang kenal dengan Nek Siti, itu nenek saya. salam kenal dari saya Udin.
Trima kasih sudah berkunjung, tentu saja saya kenal dengan pak udin Marau kalo diurut masih saudara dari nenek saya, sy dulu masa kecil di Tj. Pasir Kilang padi gunung sayang. oya sekarang tinggal di Mana Din, apa masih di Lor. Kurnia?, wasalam
ReplyDeleteAssallamualaikum.Kenal tak sama Sani Mosjuni paman saya yang terpisah dengana ayah saya sejak tahun 1940 an.Ayah saya di malaysia berumur 80 tahun. Berasal dari Tanjung Pasir Tembilahan.
ReplyDelete-SalmahMokni@yahoo.com
Desa Tanjung pasir yang saya ceritakan berada di Wilayah Propinsi Sumatera utara, kalau tembilahan di Propinsi Riau, Silahkan berkunjung ke blog http://hasanzainuddin.wordpress.com mungkin bisa dapat informasi lebih banyak, Wasaallam
ReplyDelete